Upacara Adat Sedekah Rame, Tradisi Doa Bersama Jelang Musim Tanam di Sumsel

PALEMBANG, iNews.id - Upacara adat sedekah rame merupakan budaya masyarakat petani Sumatera Selatan (Sumsel) yang menarik untuk diulas. Sedekah rame dalam bahasa nasional yakni sedekah atau doa bersama diakhiri dengan makan bersama-sama yang dilakukan di lahan pertanian seperti sawah.
Upacara adat sedekah rame dilaksanakan oleh sejumlah pemilik sawah atau lahan pertanian di beberapa daerah di Sumatera Selatan (Sumsel). Di antaranya, di Kabupaten Lahat disebut upacara adat sedekah rame, kemudian di Lubuklinggau menyebutnya sedekah rami dan di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) disebut sedekah ramo.
Hanya saja untuk sedekah ramo di Musi Rawas Utara (Muratara) tidak hanya digelar saat jelang musim tanam atau sebelum garap lahan, namun juga digelar pada hari besar agama Islam, ketika dilanda musibah seperti kekeringan dan lainnya. Selain itu, sedekah ramo di Muratara juga sudah mendapatkan penghargaan sebagau kekayaan intelektual dari Kemenkumham.
Secara umum upacara adat sedekah rame mirip dengan sedekah atau hajatan lainnya. Terdapat tiga tahapan inti pada sedekah, yakni persiapan lokasi dan waktu, kemudian pelaksanaan yang biasa diisi dengan ucapan syukur dan doa, terakhir makan sajian secara bersama - sama (rame dalam bahasa setempat).
Upacara adat sedekah rame para petani pemilik lahan ini dihadiri tokoh masyarakat dan tokoh adat. Sedekah rame digelar di persawahan atau lokasi pertanian yang dianggap akan membawa kesuburan lahan dan tanaman.
Di berbagai daerah di Sumsel, upacara adat sedekah rame digelar sebagai bentuk penghormatan kepada sang pencipta yang telah menganugerahkan bumi yang subur. Selain itu, upacara adat ini merawat kebersamaan dan silaturahmi warga.
Pada upacara adat sedekah rame dipanjatkan ucapan syukur dan doa agar lahan pertanian yang akan digarap terbebas serangan hama dan hasil panen nantinya berlimpah.
Pada pelaksanaannya, upacara adat sedekah rame dipimpin tokoh adat atau tokoh masyarakat yang sudah diundang dan diinformasikan sebelumnya. Orang yang dituakan dan dihormati itu sekaligus akan memimpin doa bersama, yang terkadang disertai membakar kemenyan.
Warga yang lebih mudah menyiapkan semua keperluan upacara adat, sementara para perempuan menyiapkan hidangan untuk dimakan secara bersama-sama di atas tikar anyaman di atas tanah pinggiran sawah.
Pada pelaksanaan upacara adat sedekah rame, budaya gotong-royong terpelihara dengan baik. Semua warga terlibat dengan perannya masing-masing hinggga upacara adat selesai. Uniknya, warga dari luar daerah yang kebetulan menyaksikan upacara adat sedekah rame, dapat ikut menikmati hidangan yang disiapkan.
Setelah upacara adat sedekah rame digelar, penggarapan sawah dimulai yang diawali dengan pengeringan air. Sawah yang mengering membuat ikan bermunculan, warga biasanya sudah menyiapkan beragam peralatan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin.
Banyaknya warga yang menangkap ikan, secara tidak langsung membuat sawah terbajak secara gratis. Semua warga, siapa pun boleh turut menangkap ikan, walaupun tidak memiliki sawah. Ikan yang didapat pun boleh dibawa pulang atau dijual di tempat lain.
Upacara adat sedekah rame digelar setiap tahun sebelum musim tanam dimulai, namun seiring waktu sedekah rame sudah mulai ditinggalkan petani di beberapa daerah dengan berbagai alasan.
Namun petani di Lahat masih terus berupaya mempertahankan upacara adat sedekah rame. Selain melestarikan budaya, melaksanakan upacara adat sedekah rame juga sebagai bentuk penghambaan petani kepada yang maha kuasa.
Bagi mereka, sawah bukan sekadar tempat bercocok tanam, namun juga sumber penghidupan sejak dahulu.
Editor: Berli Zulkanedi