Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya Menganut Sistem Kadatuan
JAKARTA, iNews.id - Kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya disebutkan menganut sistem kadatuan, yakni kerajaan yang membawahi atau menguasai wilayah atau kerajaan - kerajaan lain. Sriwijaya sendiri merupakan sebuah kerajaan maritim terbesar dan kuat pada abad ke 7 M hingga memudar di abad 12.
Dari berbagai temuan prasasti, dapat diduga jika bentuk pemerintahan Sriwijaya yaitu Kadatuan yang artinya tempat berkumpul para datu. Datu adalah orang yang dituakan atau dihormati.
Hal tersebut berarti bahwa Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang terdiri dari mandala-mandala (provinsi-provinsi) yang setiap mandala dikepalai oleh seorang Datu. Lalu bagaimana kehidupan politik Sriwijaya?
Dalam kehidupan politik kerajaan Sriwijaya mandala-mandala tersebut membentuk semacam perkumpulan yang diketuai oleh seseorang yang disebut dengan Datu. Datu memiliki peran sebagai Primus Interpares.
Hal tersebut karena datu tersebut tidak hanya berperan sebagai ketua dari perkumpulan gabungan provinsi-provinsi tetapi juga menjadi peran sebagai seorang hakim yang menyelesaikan sengketa di antara mereka, dan juga berperan sebagai orang tua yang perannya sangat dihormati.
Biasanya seorang datu akan dipilih oleh para putra dari keturunan para penguasa maupun keturunan dari seorang bangsawan. Pejabat yang berada di bawahnya adalah petinggi yang bergelar parvvanda yang memimpin keseluruhan hulubalang dan juga bertanggung jawab dalam seluruh hal ketentaraan.
Tingkatan sosial kadatuan dalam kehidupan politik Kerajaan Sriwijaya terbagi menjadi empat tingkatan atau putra-putra. Putra daty yang utama Yuwaraja (Putra Mahkota) atau disebut juga raja muda.
Tingkatan berukitnya putra yang bergelar Pratiyuwaraja, yang dapat naik tingkat menjadi Yuwaraja. Tingkatan ketiga Raja Kumara, yang juga memiliki kesempatan naik menjadi Yuwaraja.
Tingkatan selanjutnya Rajaputra, merupakan anak datu yang tidak memiliki hak atas tahta karena merupakan anak dari selir maupun gundik.
Ada jabatan yang berasal dari orang awam yaitu senapati (panglima), nayaka (bendahara), pratiaya, hajipratiaya (tumenggung), dan dandanayaka (hakim),
Pada tingkatan paling terbawah ada beberapa golongan besar termasuk para pegawai Kadatuan, seperti murdhaka (penghulu), tuhanwatakwurah (koordinator perdagangan dan pertukangan), adhyaksa nicayarna (jaksa), kumaramatya (menteri tetapi ia bukan kerabat dari bangsawan) dan juga para prefisonal (arsitek, juru tulis, kapten kapal, pedagang, pande besi, tukang cuci, dan hamba Datu).
Semua jabatan itu tertulis dalam prasastu Telaga Batu, dan mereka merupakan yang disumpah oleh Datu Sriwijaya agar mereka tetap setia dan tidak akan melakukan pemberontakan.
Semasa perkembangannya, kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bermula di Palembang kemudian mulai berkembang ke daerah-daerah di sekitarnya. Adanya bukti tentang perluasan Sriwijaya ini tertulis pada prasasti Sriwijaya yang ditemukan pada daerah-daerah perluasan tersebut. Dari penemuan para prasasti yang ditemukan tersebut sebagian besar berisi mengenai kutukan-kutukan yang ditujukan kepada orang yang memberontak pada kedatuan.
Hingga pada akhirnya, telah diketahui bahwa Palembang adalah pusat dari kedatuan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya prasasti yang ditemukan serta susunan kutukan dalam prasasti. Palembang merupakan daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam juga memiliki kondisi geografis yang dinilai paling menguntungkan bagi Kedatuan Sriwijaya.
Sedangkan pada daerah penemuan prasasti yang berada di luar Palembang merupakan sebuah daerah hinterland, yaitu daerah yang kekayaan alamnya digunakan sebagai komoditas bagi Kadatuan di Sriwijaya.
Itulah penjelasan mengenai sistem politik kadatuan dalam kehidupan politik kerajaan Sriwijaya.
Editor: Berli Zulkanedi