Kota Pagaralam, Sumsel, yang berada di kaki Gunung Dempo dikenal sebagai daerah penghasil kopi dengan produksi 12.782 ton per tahun dari total luas lahan 8.327 hektare berdasarkan data BPS Sumsel.
“Artinya jika mau digarap dengan serius untuk sisi ekspor, maka Kopi Pagaralam yang paling tepat. Sudah dapat pengakuan internasional dan dari skala jumlah juga memenuhi. Begitu juga dengan kualitas, karena sudah banyak petani yang beralih dari kopi asalan ke premium,” kata dia.
Kristian Tri Purnomo (38), petani kopi asal Pagaralam mengatakan dirinya saat ini menyasar pasar ekspor biji kopi premium yang menawarkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar lokal.
Harga biji kopi (green bean) untuk pasar premium dipatok pembeli sekitar Rp34.000 per kilogram, sementara untuk pasar lokal jenis kopi asalan (petik pelangi) hanya Rp19.000 per kilogram.
Bahkan saat ini muncul produk baru yakni kopi asalan tapi disortir dengan harga Rp23.000 per kilogram sejak adanya permintaan produk premium. “Ada perbedaan yang cukup jauh sehingga saat ini banyak petani yang tertarik,” katanya.
Hanya saja, belum seluruh petani kopi di Pagaralam mau menjual produk premium lantaran mereka harus mengubah kebiasaan dalam kegiatan setelah panen.
Pembeli menerapkan aturan yang cukup ketat terkait kegiatan usai panen ini mengingat produk biji kopi ini akan diekspor ke luar negeri.
“Harus hiegenis, mulai dari harus petik merah, jemurnya 30 hari lamanya, hingga tidak boleh jemur di tanah atau di atas jalan beraspal. Harus di atas para-para (balai-balai tempat menjemur yang berjarak 70 cm dari tanah,” katanya.
Editor : Berli Zulkanedi
Artikel Terkait