Walhi Sebut Konflik Agraria di Sumsel Masih Tinggi
PALEMBANG, iNews.id - Aktivis lingkungan yang tergabung dalam Walhi Sumatera Selatan mencatat konflik agraria di Provinsi Sumsel masih cukup tinggi. Pada 2020, tercatat 20 konflik agrarian yang terjadi antara petani dengan perusahaan perkebunan atau pertambangan.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M Hairul Sobri mengatakan, beberapa konflik agraria yang memerlukan penyelesaian dan perhatian pihak terkait seperti konflik antara masyarakat/petani Dusun Cawang Gumilir dengan pihak PT Musi Hutan Persada (MHP) yang melakukan penggusuran lahan petani.
“Kemudian konflik agraria antara masyarakat Desa Belanti dengan empat perusahaan perkebunan sawit yang dipicu permasalahan perubahan bentang alam,” katanya dikutip dari Antara.
Menurut dia, wilayah Sumsel dikuasai izin korporasi yang sangat besar mulai dari hutan tanaman industri (HTI) atau kebun kayu 1,5 juta hektare. Kemudian perkebunan 1,3 juta ha , pertambangan 675 ribu ha dan dikuasai oleh negara 1,7 juta ha.
Dengan luas Sumsel 91.592,43 km2 dan jumlah penduduk 8.467.432 jiwa, artinya luasan wilayah kelola rakyat rata-rata/jiwa memiliki luasan hanya 0,4 ha untuk tiap jiwanya.
Berbanding terbalik dengan luas wilayah kelola korporasi yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, memicu sering terjadi konflik agraria di Sumsel.
“Selain memicu terjadinya konflik agraria, pemberian izin penguasaan dan pengelolaan lahan secara besar-besaran, mengakibatkan Sumsel darurat bencana ekologis,” ujarnya.
Editor: Berli Zulkanedi