Sejarah Sungai Musi Beserta Asal Usul Nama yang Dahulu Disebut Mu Ci
PALEMBANG, iNews.id - Sejarah Sungai Musi di Sumatera Selatan akan diulas dalam artikel ini. Sungai Musi merupakan sungai terpanjang kedua di Sumatera dengan panjang mencapai 750 kilometer.
Sungai Musi kalah panjang dengan Sungai Batanghari di Jambi yang mencapai 800 kilometer. Namun sejarah Sungai Musi mungkin lebih panjang dan sudah dikenal hingga ke negeri China jauh sebelum era Kerajaan Sriwijaya.
Pada masa lalu, transportasi di dunia hanya mengandalkan transportasi air menggunakan perahu layar. Manusia saat itu belum menemukan transportasi darat apalagi udara seperti saat ini.
Aktivitas manusia hanya mengandalkan angkutan sungai dan perahu layar di laut. Pada masa itu bajak laut juga banyak melakukan penjelajahan hingga ke wilayah yang kini menjadi Palembang, Sumatera Selatan.
Menurut cerita, salah satu kelompok bajak laut dari China yang terdiri dari beberapa kapal tiba di Selat Bangka. Mereka melihat muara sebuah sungai yang lebar dan ternyata belum ada namanya di dalam peta.
Pemimpin kelompok bajak laut itu tertarik sehingga membagi tim untuk menjelajah masuk ke sungai yang belum ada di peta itu. Para bajak laut ini sampai ke bagian hulu yang salah satunya wilayah Basemah di Lahat dan Pagar Alam saat ini.
Para bajak laut ini kaget karena wilayah di sekitar sungai sangat subur, rempah-rempahnya tumbuh subur. Selain itu batu bara muncul dengan sendirinya di atas tanah. Kelompok bajak laut ini kembali berkumpul dan berbincang yang hingga akhirnya pemimpin kelompok ini menamai sungai ini dengan Mu Ci yang berarti ayam betina.
Ayam betina dipilih karena sebagai mahluk yang memberikan keuntungan bagi manusia dengan telurnya yang banyak. Sungai itu layak disebut Mu Ci karena tanah di sekitarnya kaya dan subur serta masyarakat di sekitarnya dikenal baik.
Karena itu, wilayah di sekitar Sungai Mu Ci ini kemudian menjadi jalur perdagangan yang masa itu tentu dengan sistem barter. Dalam perjalanannya, beratus tahun kemudian Sungai Mu Ci berubah nama menjadi Musi yang dikenal hingga saat ini.
Sejarah Sungai Musi tidak terlepas dengan Kerajaan Sriwijaya. Sejak masa Kerajaan Sriwijaya, kesultanan Palembang hingga kolonial Belanda, Sungai Musi menjadi sarana atau jalur transportasi utama. Bahkan saat ini, jalur transportasi di Sungai Musi masih sangat sibuk.
Mulai dari angkutan manusia, hasil tambang seperti batu bara, minyak dan komoditas lainnya. Di Sungai Musi terdapat pelabuhan yang cukup sibuk yakni Pelabuhan Boombaru yang dikelola PT Pelindo II.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-6 hingga abad ke-12) yang dikenal sebagai kerajaan maritim dengan armada laut yang kuat mengandalkan Sungai Musi sebagai sarana transportasi utama. Sriwijaya konon membangun permukiman dan taman di pinggir Sungai Musi yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijata (TPKS) di Gandus Palembang.
Di tempat ini terdapat kanal-kanal yang diyakini tempat bersandarnya kapal-kapal milik pasukan dan petinggi Sriwijaya.
Dalam perkembangannya hingga di masa Kesultanan Palembang dan kolonial, Sungai Musi semakin terkenal karena para pedagang dari China dan Timur Tengah berdatangan dengan tujuan belajar dan berdagang. Hal itu terbukti banyaknya penemuan benda bersejarah di dasar Sungai Musi.
Terdapat beberapa kelompok masyarakat di Palembang yang mencari harta karun di dasar Sungai Musi hingga saat ini.
Sungai Musi membentang sepanjang 750 kilometer dari hulu di kawasan Kepahiyang Bengkulu, melintasi beberapa kabupaten, membela Kota Palembang dan bermuara di Selat Bangka.
Sungai Musi disebut Batanghari Sembilan karena sembilan sungai besar bermuara di Sungai Musi. Karena itu, hampir seluruh wilayah Sumsel dapat dijangkau sejak masa lalu melalui jalur sungai.
Di Palembang, Sungai Musi dan Jembatan Ampera di atasnya menjadi ikon Kota Pempek. Sungai Musi membelah Kota Palembang menjadi dua bagian, Palembang Ulu dan Palembang Ilir. Masyarakat sejak zaman dahulu menggantungkan hidup dengan Sungai Musi. Beraktivitas, transportasi dan membuat tempat tinggal yang disebut rumah rakit di atas Sungai Musi.
Sampai saat ini, masih banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dengan Sungai Musi. Mereka hidup dan mencari nafkah dengan menjadi serang getek. Bagi mereka sejarah Sungai Musi terus melekat dan dipertahankan.
Editor: Berli Zulkanedi