Orang Tua Santri Datangi Polda Sumsel Tanyakan Kelanjutan Perkara Penganiayaan Anaknya

PALEMBANG, iNews.id - Ermawangi (49), ibunda santri yang diduga menjadi korban penganiayaansenior di Pondok Pesantren (Ponpes) Ma'had Izzatuna Kabupaten Banyuasin mendatangi Polda Sumsel. Kedatangan Ermawangi untuk memastikan kelanjutan perkara yang telah dilaporkannya.
Saat mendatangi Polda Sumsel, Ermawangi tampak tak kuasa menahan tangis saat mengungkapkan harapan agar kasus penganiayaan yang dialami anaknya bisa diusut tuntas oleh kepolisian.
"Sebagai seorang ibu, saya mohon sekali kepada bapak Kapolri, bapak Kapolda Sumsel dan bapak Kapolres Banyuasin kiranya untuk terus membantu kami. Bantu agar anak kami memperoleh keadilan pak," ujarnya, Sabtu (29/10/2022).
Dijelaskan Erma, meski anaknya yang telah menjadi korban sudah selesai menjalani perawatan di rumah sakit, rasa trauma masih dialami oleh anaknya yang masih kelas 1 SMP tersebut.
"Saya tidak pernah mengajarkan anak untuk berbohong, itu yang saya tanamkan sejak dia kecil. Saya juga tekankan, cerita yang jujur semuanya, apa yang sudah dia alami. Dan anak saya bilang dia dicekik sampai tidak bisa bernapas, lalu dia bangkit lagi terus ditonjok perutnya di depan ulu hati sampai susah lagi bernafas. Perlakuan itu sangat tidak saya terima," katanya.
Sesekali, Erma juga kembali tak kuasa menahan tangis setiap kali mengingat cerita anaknya ketika mengalami tindak penganiayaan yang diduga dilakukan seniornya yang duduk di bangku kelas 3 SMA.
"Anak saya juga cerita kalau pernah dipukul pakai gantungan baju oleh terlapor itu," katanya.
Tak hanya kecewa atas tindakan terlapor yang diketahui adalah remaja berinisial NA, Ermawangi juga mengaku sangat tidak terima dengan sikap pesantren yang tidak bertanggung jawab bahkan terkesan menutupi kejadian tersebut.
"Saya ingin pihak ponpes membuka kasus ini sejelas-jelasnya dan semestinya bersikap tegas serta menaruh perhatian. Anak saya mengalami trauma psikis. Sampai sekarang tidak mau sekolah, dia takut, trauma, itu yang sangat saya khawatirkan," katanya.
Sementara pengacara keluarga korban, Ryan Gumay menyoroti soal pengakuan ponpes perihal kejadian yang dialami korban. Pihak ponpes menyebut kejadian sebenarnya bukan penganiayaan melainkan terlapor hanya mencengkram kerah baju korban.
"Dari Ponpes maupun orang tuanya bilang kejadian itu hanya memegang kerah. Ini yang perlu kami luruskan. Dalam perawatan di RS Bhayangkara, berdasarkan keterangan orang tua korban didapat beberapa bukti luka. Salah satunya di bagian bokong. Ada juga pengakuan korban soal lambungnya dipukul, kemudian dicekik dan lain sebagainya," katanya.
Ryan mengaku, jika keluarga korban beserta perwakilan Ponpes Izzatuna pernah menjenguk korban saat masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara M Hasan Palembang. Dalam pertemuan tersebut, orang tua korban sempat ditawari kesepakatan damai agar tidak membawa persoalan ini ke jalur hukum.
"Ternyata dalam upaya damai itu ternyata ada draft yang disusulkan. Dalam draft perdamaian itu ada yang tidak kami sepakat beberapa hal, sehingga tidak terealisasi secara kongkret mengingat adanya klausul pasal yang tidak sejalan dengan harapan penyelesaian perkara ini ke depan," katanya.
Tidak hanya membawa permasalahan ini ke jalur hukum, kuasa hukum dan keluarga korban juga bakal mengadu ke DPRD Banyuasin. Langkah tersebut dirasa perlu untuk dilakukan mengingat keluarga korban sangat berharap adanya pertanggungjawaban sebagai lembaga penyedia pendidikan.
"Kami lihat seperti apa bentuk pertanggungjawaban dari ponpes maupun keluarga terlapor. Karena sampai saat ini korban meski sudah keluar dari rumah sakit, namun masih mengalami trauma secara psikis. Nanti akan kami buktikan melalui resume dari dokter. Sebab korban juga disarankan melakukan fisioterapi mengingat kondisinya yang sampai saat ini masih trauma, bahkan tidak mau sekolah," katanya.
Editor: Berli Zulkanedi