Kerajaan Islam di Sumatera Selatan Beserta Peninggalannya yang Kini Jadi Tempat Wisata
PALEMBANG, iNews.id - Kerajaan Islam di Sumatera Selatan beserta peninggalannya diulas dalam artikel ini. Kerajaan Islam ini adalah Kesultanan Palembang yang berdiri pada abad ke-17 atau setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit hingga abad ke-19.
Menurut kisah dari berbagai sumber, Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim terbesar dan berpusat di Palembang runtuh pada abad ke-13. Setelah itu, wilayah ini seakan tidak bertuan dan menjadi sepi bahkan menjadi sarang bajak laut.
Kemudian dengan berjalannya waktu, di Kesultanan Demak terjadi perselisihan, sehingga banyak keluarga kerajaan melarikan diri termasuk ke Palembang. Salah satunya Ki Gede Sedo Ing Lautan, yang pada abad ke-16 mendirikan Kerajaan Palembang, namun masih menjadi bawahan kerajaan di Jawa.
Ki Gede Sedo Ing Lautan diyakini kemudian menurunkan raja-raja atau sultan di Kesultanan Palembang. Kerajaan ini terus berdiri hingga di akhir abad ke-16, kerajaan ini memutuskan hubungan dengan kerajaan di Jawa dan menjadi Kesultanan bercorak Islam dengan raja pertamanya bergelar Sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifat al-Mukminin Sayidul Iman.
Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, kerajaan Islam di Sumatera Selatan ini memiliki pengaruh yang besar di dalam pengembangan ajaran Islam di nusantara. Dari kesultanan yang sudah berdiri sejak tahun 1700-an ini lahir beberapa tokoh Islam yang berpengaruh dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda, salah satunya adalah Sultan Mahmud Badaruddin II.
Selain meninggalkan ajaran Islam, Kesultanan Palembang juga memiliki beberapa peninggalan yang dapat disaksikan hingga ini. Berikut peninggalan kerajaan Islam di Sumatera Selatan :
Benteng kuto besak (BKB) terletak di pinggir Sungai Musi dan tidak jauh dari Jembatan Ampera. BKB merupakan bangunan keraton yang menjadi pusat Kesultanan Palembang pada abad ke-18. Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I dan pelaksanaan pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya, yakni Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah antara tahun 1776-1803.
Benteng ini mulai dibangun tahun 1780 dengan arsitek yang tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan pada seorang Tionghoa. Bangunan benteng kuto menggunakan batu bata yang direkat menggunakan batu kapur yang diambil dari pedalaman Sungai Ogan di wilayah Kabupaten OKI ditambah dengan putih telur.
Saat ini, Benteng Kuto Besak masih berdiri dengan kokoh menghadap Sungai Musi. Namun bangunan bersejarah ini ditempati Kesdam II Sriwijaya. Karenanya, masyarakat Palembang dan pengunjung hanya dapat menikmati bangunan peninggalan kerajaan Islam ini dari depan.

Peninggaan Kerajaan Islam di Sumatera Selatan berikutnya yakni Masjid Agung Palembang. Masjid ini terletak tidak jauh dari Jembatan Ampera. Pada masa kesultanan, Palembang yang tumbuh sebagai pusat perdagangan dan perkembangan Islam, selain keraton juga berdiri masjid.
Namun kemudian VOC yang awalnya hanya mitra dagang mulai mengusik sehingga terjadi peperangan dan masjid pun terbakar. Setelah puluhan tahun berlalu, saat Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I, kerajaan Palembang disebutkan berada di masa puncak kejayaan. Pasa masa ini, masjid kembali dibangun di tempat yang sama.
Masjid ini mengalami beberapa kali perombakan termasuk oleh Belanda di masa kolonial dan teraknir 2003. Pada perombakan terakhir terjadi penambahan menara dan setelah selesai renovasi, masjid ini ditetapkan menjadi masjid nasional dan warisan budaya.
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo merupakan masjid tua yang sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia ratusan tahun ini menjadi ikon Palembang dan kebanggaan warga Sumatera Selatan.
Berikutnya, peninggalan Kerajaan Islam di Sumatera Selatan yakni bangunan Museum Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II. Museum SMB II berada di samping Jembaran Ampera dan Benteng Kuto Besak di Jalan Sultan Mahmud Badaruddin II No 2 Palembang.
Museum ini bekas peninggalan pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam. Saat ini museum ini terbuka untuk umum. Museum memiliki sekitar 556 koleksi benda bersejarah, mulai dari bekas peninggalan kerajaan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang.

Sebelum menjadi museum, bangunan ini pernah dibakar oleh Belanda pada 17 Oktober 1823 sebagai balas dendam kepada Sultan yang telah membakar Loji Aur Rive. Kemudian lokasi itu dibangun gedung tempat tinggal Residen Belanda.
Pada masa Pendudukan Jepang, gedung ini dipakai sebagai markas Jepang sebelum dikembalikan ke warga Palembang ketika proklamasi kemerdekaan di tahun 1945. Museum ini direnovasi dan difungsikan sebagai markas Kodam II/Sriwijaya sebelum menjadi museum hingga saat ini.
Kawah Tekurep merepakan kompleks makam para raja atau sultan dan petinggi kesultanan. Menurut catatan sejarah, Kawah Tengkurep dibangun pada 1728 bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung.
Makam Kawah Tekurep berada di kecamatan Ilir Timur II. Di kompleks makam ini terdapat makam Sultan Mahmud Badaruddin beserta para istrinya, yaitu Ratu Sepuh dari Demak, Ratu Gading dari Malaysia, ratu Mas Ayu dari Cina, dan Nyai Mas Naimah dari Palembang.
Selain itu terdapat makam Imam Sayid Al Idrus yang merupakan guru spritual bagi Sultan Mahmud Badaruddin. Makam Kawah Tekurep memiliki luas mencapai satu hektare, yang terdiri dari enam bangunan makam yang diperuntukkan bagi sultan dan orang-orang tedekatnya.

Sedangkan makam yang berukuran kecil di bagian depan bangunan utama merupakan makam bagi anak-anak keturunan, abdi dalem, dan para panglima. Kompleks Makam Kawah Tekurep setiap hari didatangi para peziarah dari berbagai daerah.
Demikian ulasan tentang Kerajaan Islam di Sumatera Selatan beserta peninggalanya. Semoga bermanfaat.
Editor: Berli Zulkanedi